Pasang Iklan Gratis

Gencatan yang Rapuh: Diplomasi Indonesia Memimpin Pasukan Perdamaian di Gaza

 Serangan udara Israel ke Jalur Gaza pada Selasa (28/10/2025) waktu setempat menjadi titik balik baru dalam siklus kekerasan tanpa ujung antara Israel dan Hamas. Perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melancarkan “serangan dahsyat” sebagai respons atas dugaan pelanggaran gencatan senjata memperlihatkan betapa rapuhnya arsitektur perdamaian yang sedang diupayakan Amerika Serikat.

Israel menuduh Hamas memalsukan penyerahan jenazah sandera, sementara Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menegaskan bahwa proses tersebut berlangsung atas dasar permintaan resmi dan itikad baik. Perbedaan narasi ini bukan sekadar perang informasi, melainkan bagian dari war of legitimacy, di mana masing-masing pihak berusaha mempertahankan klaim moral atas tindakannya.

Sejak konflik pecah pada 7 Oktober 2023, lebih dari 68.000 warga Gaza telah menjadi korban jiwa. Sementara itu, di pihak Israel tercatat lebih dari 1.200 korban tewas. Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan potret kegagalan diplomasi internasional dalam mencegah eskalasi kekerasan yang terus berulang.

Dalam perspektif peace studies, konflik Gaza menunjukkan lemahnya efektivitas negative peace, yakni perdamaian yang hanya mengandalkan penghentian kekerasan sementara tanpa mengatasi akar masalah seperti blokade, pendudukan, dan ketidakadilan struktural. Ketika negative peace dipelihara tanpa diikuti positive peace atau perdamaian berbasis keadilan dan rekonsiliasi, maka gencatan senjata hanya menjadi jeda sebelum perang berikutnya.

Upaya gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat memang berhasil menciptakan ruang tenang sementara. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan netral, perdamaian menjadi ilusi yang mudah diguncang oleh kecurigaan sekecil apa pun. Inilah yang disebut Johan Galtung sebagai peace without structure, perdamaian yang rapuh karena tidak diiringi dengan sistem penegakan dan kepercayaan bersama.

Israel dan Hamas sama-sama terjebak dalam logika security dilemma, di mana langkah pertahanan salah satu pihak selalu dianggap ancaman bagi pihak lain. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran pasukan penjaga perdamaian independen menjadi kebutuhan mutlak untuk memutus siklus balas dendam dan salah tafsir yang terus terjadi.

Salah satu solusi yang muncul dalam perjanjian gencatan senjata di Mesir adalah pembentukan International Stabilization Force (ISF). Gagasan ini tidak hanya berfungsi sebagai penjaga batas demarkasi, tetapi juga sebagai mediator aktif yang menjamin implementasi komitmen kedua belah pihak secara nyata dan terukur.

Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam misi perdamaian internasional, mulai dari Lebanon hingga Kongo, memiliki kapasitas moral dan operasional untuk menjadi pelopor dalam pembentukan ISF. Rencana pengiriman 20 ribu pasukan perdamaian bukan sekadar simbol solidaritas, tetapi representasi dari diplomasi aktif Indonesia dalam menjaga stabilitas global berbasis kemanusiaan.

Namun, pembentukan ISF harus dilakukan di luar struktur PBB yang terbukti tidak efektif dalam krisis Gaza. PBB selama ini terjebak dalam tarik-menarik veto di Dewan Keamanan, yang membuat mandat perdamaian sering kali lumpuh di hadapan kepentingan geopolitik. Karena itu, mekanisme baru yang melibatkan negara-negara netral dan kredibel perlu diupayakan.

Dalam konteks ini, kolaborasi antara negara-negara Muslim besar seperti Indonesia, Arab Saudi, dan Turki bersama negara anggota Dewan Keamanan seperti Perancis, China, dan Amerika Serikat menjadi penting. Kerja sama ini bisa menjadi model baru hybrid peacekeeping coalition, kombinasi antara moralitas kemanusiaan dan kekuatan politik global.

Pendekatan ini sejalan dengan teori multi-track diplomacy, yang menekankan pentingnya sinergi antara aktor negara, organisasi internasional, dan elemen masyarakat sipil dalam menjaga perdamaian. ISF dapat menjadi wadah bagi kolaborasi lintas jalur tersebut, dengan mandat jelas dan transparan di bawah supervisi bersama negara-negara anggota.

Kehadiran ISF juga berfungsi sebagai confidence-building measure, langkah membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang berkonflik. Ketika Israel dan Hamas tidak lagi saling tuduh atas pelanggaran, maka ruang diplomasi bisa terbuka kembali untuk membahas isu substansial seperti pembebasan sandera, rekonstruksi Gaza, dan pengakuan status politik Palestina.

Dalam teori transformative peacebuilding, perdamaian sejati tidak berhenti pada penghentian kekerasan, tetapi harus menciptakan kondisi baru yang mencegah kekerasan muncul kembali. Dengan demikian, ISF harus dilengkapi dengan mandat sipil, melibatkan mediator, psikolog trauma, dan lembaga kemanusiaan yang mampu merekonstruksi tatanan sosial Gaza pasca-serangan.

Israel, pada sisi lain, perlu diyakinkan bahwa kehadiran ISF bukan ancaman terhadap kedaulatannya, melainkan jaminan terhadap stabilitas regional. Sebaliknya, bagi Hamas dan rakyat Palestina, kehadiran pasukan ini merupakan perlindungan kemanusiaan di tengah keputusasaan akibat blokade panjang dan kehancuran infrastruktur.

Jika inisiatif ISF berhasil diwujudkan, dunia akan menyaksikan paradigma baru dalam manajemen perdamaian global, perdamaian yang tidak hanya didefinisikan oleh PBB, tetapi oleh kesadaran kolektif negara-negara yang menolak membiarkan penderitaan manusia menjadi alat tawar-menawar politik.

Namun, keberhasilan ISF sangat bergantung pada political will dan kejujuran diplomasi internasional. Tanpa komitmen yang tulus, ISF hanya akan menjadi simbol tanpa substansi, layaknya pasukan yang hadir tapi tak berdaya menembus tembok kepentingan politik.

Krisis Gaza hari ini adalah ujian bagi peradaban modern. Apakah dunia masih memiliki keberanian moral untuk bertindak atas nama kemanusiaan, atau terus bersembunyi di balik retorika dan sidang diplomatik yang tak berujung. Perdamaian sejati menuntut keberanian untuk mengambil risiko, bukan sekadar membangun narasi.

Dengan demikian, pembentukan International Stabilization Force yang diinisiasi oleh negara-negara netral seperti Indonesia bukan hanya pilihan strategis, tetapi juga panggilan etis. Gaza tidak memerlukan belas kasihan, melainkan perlindungan. Dunia tidak membutuhkan janji perdamaian lagi, melainkan keberanian untuk menjaganya.

0 Response to "Gencatan yang Rapuh: Diplomasi Indonesia Memimpin Pasukan Perdamaian di Gaza"

Posting Komentar